Selasa, 31 Maret 2015

Filosofi Negara Menurut Tan Malaka

‘Saya harus angkat bicara, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur’ suara tegas itu lahir dari mulut Tan Malaka di Moskwa saat konferensi Komunis Internasional (Komintern). Tan Malaka adalah legenda hidup zaman pergerakan. Namanya terkenal di kalangan kaum nasionalis Indonesia. Karya-karyanya, seperti Naar de Republiek Indonesia (1925) dan Massa Actie(1926) menjadi bacaan di kalangan aktivis pergerakan tidak terkecuali buat Sukarno. Perbincangan tentangnya diselang-selingi bumbu beraroma mitos. Ia tokoh yang masyhur, pahlawan nasional yang sempat dilupakan selama bertahun-tahun dan kini namanya mulai disebut dimana-mana.

"Riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan," kata Dr Alfian dalam tulisannya, "Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian". Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet.

Tapi kenapa gagasannya yang brilian tidak pernah bisa direalisasikan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh pengikut-pengikutnya? Itu bisa terjadi karena, “hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk,” kata Hasan Nasbi, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka.

Ia seorang marxis yang berjiwa nasionalis yang dalam beberapa hal memiliki paradoksalnya sendiri: berpikiran marxis secara total dan bertindak sebagai nasionalis yang radikal. Tan Malaka adalah pejuang yang gigih dan pemikir ulung, betapa pun aktivitas politiknya selalu menimbulkan kontroversi.

Tan Malaka dalam perjuanganyya tampak hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Tapi Tan bukanlah seorang gegabah dalam menjalankan revolusinya, ia tak turut serta dalam pemberontakan yang  dimotori PKI dan tokoh Sarekat Islam pada 1926, ia punya alasan kuat kenapa dia tak setuju pemberontakan itu. Hal tersebut telah lebih dulu ditulisnya dalam brosur Massa Actie. Menurut Tan, pemberontakan yang dinyalakan oleh segelintir orang anarkis hanyalah impian seorang yang sedang demam. Mungkin Tan hendak mengatakan bahwa sebuah revolusi untuk kemerdekaan tak bisa dilakukan secara serampangan. Butuh dukungan situasi obyektif sebagai prasyarat bagi lahirnya revolusi itu sendiri. Ia menganjurkan pemboikotan terhadap industri-industri milik kaum imperialis jauh lebih baik daripada langsung melancarkan pemberontakan tanpa persiapan yang matang.

Mungkin Tan benar. Pemberontakan itu sendiri bubar di tengah jalan. Partai hancur sekali pukul. Pemimpin pergerakan banyak ditangkapi. Gerakan pun melemah. Namun pemberontakan itu sendiri menjadi salah satu pendorong bagi gerakan selanjutnya dalam bingkai sejarah revolusi di Indonesia. Pemberontakan 1926, betapa pun mengalami kegagalan, turut mematangkan kondisi obyektif sebagai prasyarat terjadinya revolusi di Indonesia.

Tan juga menyuarakan revolusi berpikir bagi masyarakat Indonesia, ia mendesak revolusi pemikiran dan pendidikan di Indonesia karena ini merupakan hal yang mendesak menjelang kemerdekaan Republik. “Kemerdekaan yang dicapai melalui revolusi nasional, yang menentukan batas-batas politik sebuah negara, harus segera diikuti oleh revolusi alam pemikiran masyarakat Indonesia dari logika mistika ke cara berpikir rasional yang mengandalkan ilmu bukti” Katanya.  Tan menyadari masyarakat agraris seperti di Jawa akan selamanya terbelenggu oleh dirinya sendiri selama tidak bisa membebaskan diri dari waham-waham takhyul. Kemajuan sebuah bangsa dimulai ketika bangsa itu merdeka 100 persen dan berani menggunakan akal pikiran yang logis dan rasional.

Pemikiran Tan ini memang senafas dengan Immanuel Kant, pemikir zaman Aufklaerung yang mengatakan bahwa pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya sendiri tanpa pengarahan orang lain. Sapere Aude! Itulah motto zaman pencerahan yang membebaskan warga Eropa dari sebuah zaman yang diwarnai kegelapan akal budi.

Tapi, memang sejak Agustus 1945, Tan Malaka berubah menjadi makhluk legenda. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa.

Karena keteguhan sikapnya dan aksi frontal dalam menentang sesuatu hal yang menurutnya tidak ideal, ia diperlakukan sebagai onak dalam daging bagi kelompok - kelompok yang berseberangan dengannya. Dan, kejadian memilukan itu terjadi di Selopanggung, 19 Februari 1949. Dor! Sebutir peluru menghabisi riwayatnya. Nyawanya melesat. Namun sebelumnya dia telah berwasiat, “di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras!”

Dengan segala kekurangannya, Tan Malaka adalah manusia komplet: pemikir tangguh dan pejuang yang ulet. Ia menggiring masyarakat Indonesia kedalam jurang kebebasan berfikir, ia melakukan pembebasan bagi mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan pun akhirnya mati. Kini kita mengerti, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.